Senin, 07 Januari 2008

SEKILAS PROFIL PEREMPUAN PEDESAAN DI AREAL EKS PLG



Ketika hutan tak lagi menjadi kawan….Bagaimana nasib kami ? tanya seorang ibu paruh baya. Tergambar di raut wajahnya kekuatiran akan kelansungan kehidupan keluarganya. Setelah selama turun temurun dimanja oleh alam. Hampir segala kebutuhan tersedia dengan mudahnya. Adapun mata pencaharian utama yaitu mengumpul hasil hutan terutama rotan, menangkap ikan dengan metode Beje, dan berladang. Mereka masih terbiasa menganut cara-cara kehidupan yang tradisional. Keadaan ini mulai terusik sejak dibuka proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar oleh pemerintah. Penebangan hutan besar-besaran untuk lahan pertanian transmigrasi mengubah sistem ekologi yang ada selama ini. Alam tidak lagi bisa menjadi sumber kehidupan. Sementara harga-harga kebutuhan pokok kian melonjak tak terkendali. Gambaran inilah yang dialami sebagian besar desa-desa lokal di areal eks PLG.
Pada awal pembukaan lahan berbagai pihak terlihat begitu antusias. Hampir seluruh penduduk pun mengijinkan tanahnya untuk dibuka. Selang beberapa tahun kemudian, diluar dugaan ternyata proyek PLG sejuta hektar mengalami kegagalan. Kesulitan untuk mengolah gambut merupakan penyebab utamanya. Mulailah terjadi berbagai bencana di atas hamparan lahan tersebut. Pada musim kemarau sering terjadi kekeringan disertai kebakaran gambut. Sedangkan pada musim hujan terjadi banjir yang kedalamannya lebih dari 1 meter. Peduduk yang mengandalkan kebutuhan sehari-hari dari hasil alam sangat mengalami kesulitan. Hampir setiap pergantian musim mereka mengalami kekurangan pangan sehingga mulai banyak yang pindah ke daerah lain. Kegiatan merantau terutama dilakukan oleh kaum laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga.
Pemerintah dan berbagai pihak yang peduli memang berusaha memperbaiki lahan eks PLG tersebut. Kemudian mulai dicanangkan program Rehabilitasi PLG. Berbagai kegiatan yang mendukung terus dilakukan mulai dari perangkat hukum sampai pembangunan sarana dan prasarana. Selama bertahun-tahun daerah yang terisolasi karena transportasi ke daerah tersebut hanya bisa dilakukan lewat sungai. Dengan pembuatan jalan darat mulai membuka akses. Pendirian bangunan sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Atas. Layanan provider telepon seluler dan layanan stasiun televisi serta radio sebagai sarana informasi komunikasi bisa dinikmati. Kehidupan masyarakat yang tradisional perlahan mulai beralih menjadi lebih moderen. Tapi apakah semua itu membuat taraf hidup masyarakat semakin membaik terutama kaum perempuan ?
Berdasarkan hasil survey penulis maka diketahui secara umum profil perempuan pedesaan setelah dibukanya PLG sejuta hektar. Responden untuk angket diambil secara acak. Usia responden yaitu perempuan yang berkisar antar 17 tahun sampai 60 tahun, dengan pertimbangan usia tersebut tergolong produktif menurut kebiasaan setempat. Dengan latar belakang sosial dan pendidikan yang berbeda.
Tingkat pendidikan perempuan umumnya cukup baik sebesar 97,1 % sudah mengecap bangku sekolah dengan persentase terbesar sudah melanjutkan sampai Sekolah Menengah Atas (42,9%). Berarti bisa dikatakan hampir terbebas dari buta huruf. Hal ini mencerminkan bahwa usaha pemerintah dengan membangun sekolah tersebut mendapat respon positif. Tetapi secara ekonomi kemampuan masyarakat untuk sampai ke perguruan tinggi masih sangat kurang. Terbukti dari total responden hanya 2,9 % yang pernah duduk di perguruan tinggi. Sebenarnya banyak perempuan terutama generasi muda yang mempunyai keinginan kuliah. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah atau lembaga pendidikan tinggi lebih memperbanyak bantuan pendidikan sehingga harapan perempuan desa tersebut dapat terwujud.
Perbaikan tingkat pendidikan perempuan di pedesaan ternyata belum signifikan dengan perbaikan jenis pekerjaan bahkan tingkat penghasilannya. Dominan dari mereka hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Kondisi ini dipengaruhi oleh pola pikir perempuan yang masih berpendapat bahwa pencari nafkah utama adalah laki-laki. Sementara perempuan menjadi pencari nafkah tambahan saja. Umumnya mereka mengisi waktu luang dengan menjawet (menganyam rotan). Tetapi produksinya hanya berupa bahan baku untuk kerajinan. Selanjutnya dijual kepada pengumpul untuk dihasilkan kerajinan tangan khas dayak di ibukota kabupaten dan propinsi. Harga hasil jawet tersebut hanya sekitar Rp 4000 – 6000 per ikat. Hasil penjualannya bahkan hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Keadaan ini menyebabkan rendahnya tingkat ekonomi. Sebagian besar perempuan yang mempunyai penghasilan tidak tetap masih bergantung dengan suami dan orangtua maupun kaum kerabat yang lebih berkecukupan.
Namun demikian para perempuan tetap mempunyai kesadaran tinggi untuk ikut mensukseskan program pemerintah yang ada di desa mereka. Terbukti apabila kaum perempuan diundang dalam suatu rapat desa maka sekitar 80 % menyatakan bersedia mengikuti. Sekitar 50 % dari mereka akan mengeluarkan pendapat dan sekitar 50% tidak berani mengeluarkan pendapat dengan alasan takut salah. Rasio tersebut merupakan potensi yang dapat dikembangkan ke depan. Pemberdayaan perempuan terutama di pedesaan sebagai penopang ekonomi keluarga harus terus ditingkatkan demi kesejahteraan bangsa ini. Semua itu menuntut peran berbagai pihak mulai dari pemerintah sampai keluarga. Supaya kesetaraan gender dan pengurangan angka kemiskinan nyata dalam rangka mensukseskan visi MGDS.

Tidak ada komentar: