Rabu, 02 Januari 2008
Pembentukan Gambut Kalimantan
Lahan gambut di Indonesia memiliki luasan kurang lebih 20 juta hektar, yang tersebar merata hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti di Irian Jaya 4,6 juta hektar, Kalimantan 6,8 juta hektar, dan Sumatera 8,3 juta hektar, hanya sedikit yang terdapat di Jawa, Halmahera, dan Sulawesi yaitu 0,3 juta hektar (Rieley, et al., 1997). Di Indonesia sekitar 3,72 juta hektar (18 % dari total keseluruhan gambut) telah dibuka dan diusahakan (Silvius and Giesen, 1996) dan sedikitnya 500.000 hektar telah menjadi lahan pertanian untuk transmigrasi (Notohadiprawiro, 1996). Luasan gambut di Kalimantan Tengah kurang lebih 3 juta ha meliputi kawasan selatan propinsi ini mulai dari batas timur yaitu Sungai Barito (Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan) hingga batas barat sungai Lamandau (Kotawaringin Barat).
Istilah gambut diambil alih dari kosa kata bahasa daerah Kalimantan Selatan (Suku banjar). Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Menurut Andriesse (1988), gambut sebagai jaringan tanaman dan organisme mati lainnya yang sebagian terkarbonisasi melalui suatu proses dekomposisi dalam keadaan basah. Sementara petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya (Noor, 2001).
Beberapa peneliti lain dari berbagai negara mendefinisikan gambut atau umumnya disebut peat dengan berbagai nama. Peneliti dari Amerika utara Mitsch dan Gosselink (1993) menyebutnya fen, di Kanada menggunakan istilah musked, di Irlandia, Rusia dan Amerika disebut bog, di Finlandia disebut mire dan moor dikenal di Jerman. Dengan timbulnya perbedaan tersebut maka Soil Survey Staff memberikan panduan dalam sistem taksonomi tanah. Dalam kunci taksonomi tanah (1999), gambut dikelaskan order histosol, yaitu bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut : 1) Jenuh air <> 20% karbon organik, atau
2) Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan, tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai kandungan karbon organik sebesar :
a) 18% atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60% atau lebih, atau
b) 12% atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau
c) 12% atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya mengandung < 60% liat.
Pada umumnya gambut di Kalimantan Tengah terbentuk di daerah basah, beraerasi yang buruk, seperti di daerah danau-danau yang dangkal, kolam, rawa dan daerah berlumpur dan hasil akhir dari eutrofikasi alamiah. Eutrofikasi adalah proses yang terjadi di daerah danau dangkal dan kolam yang terjadi pengkayaan unsur-unsur hara kemudian terisi oleh tanaman dan sisa bahan tanaman. Sisa-sisa tanaman terakumulasi di dasar danau yang dangkal dan kolam yang beraerasi dan berdrainase buruk sehingga perombakan terjadi tidak berjalan sempurna (Hasset, et al., 1990 dalam Erwin Simanjuntak, 2003). Proses permulaan sehingga terbentuknya gambut dinamakan “paludisasi” , yaitu proses geogenik (bukan pedogenik), yang dalam hal ini berupa akumulasi bahan organik mencapai ketebalan lebih dari 40 cm. Pada keadaan akumulasi bahan organik tersebut dapat dianggap suatau proses pembentukan bahan induk tanah gambut. Dalam proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya bahan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ; kelembaban, susunan bahan organik, kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu (Nurhayati Hakim et al, 1986 ).
Tanah gambut (organik) yang belum didrainase (masih berupa rawa-rawa gambut) oleh Pons (1960) disebut mempunyai profil dengan susunan horison A00G. dalam proses pedogenesis selanjutnya maka terbentuklah horison C dan A1 dari horison G. Proses ini disebut sebagi proses pematangan (ripening) yang dapat dibedakan menjadi: (1) pematangan fisik , (2) pematangan kimia, dan (3) pematangan biologi (moulding).
Pematangan fisik terutama mengakibatkan penyusutan volume tanah. banyaknya penyusutan tergantung dari sifat-sifat sisa tanaman, banyaknya bagian mineral tanah dan tingginya muka air tanah. Proses ini dapat menyebabkan pemadatan gambut sehingga terjadi gejala subsidensi bila terjadi terlalu kuat maka dapat menyebabkan tanah menjadi kering tak balik. Sedangkan pematangan kimia meliputi dekomposisi sebagian atau lengkap dari bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan kemudian akan bersatu kembali menjadi bahan organik baru yang sangat resisten yang disebut humus. Pematangan biologi meliputi proses penghalusan bahan-bahan kasar dan mencampuradukkannya yang dilakukan oleh organisme hidup (Sarwono Hardjowigeno, 1993).
Berdasarkan lokasi pembentukannya maka gambut di kalimantan tengah termasuk dalam gambut dataran rendah. Sedangkan berdasarkan tempat akumulasinya termasuk dalam pertama, gambut diendapkan pada daerah cekungan, yaitu di atas tanah tua (Pleistocene terrace) yang berkembang karena pengaruh air hujan atau air tawar dari sungai (ekosistem air tawar). Kedua, gambut pada daerah depresi (tanah alluvial) yang berkembang dalam pengaruh marin (ekosistem marin). Ketiga, gambut yang diendapkan pada daerah di bawah pengaruh antara lingkungan air tawar dan marin (ekosistem payau). Perbedaan tersebut mempengaruhi ketebalan gambut. Jika terdapat di ekosistem air tawar umumnya ketebalan gambut lebih dari 3 m. Sedangkan pada daerah payau atau marin mempunyai ketebalan kurang dari 3 m.
Ketebalan gambut dalam suatu bentang lahan tidak menunjukkan permukaan datar. Berdasarkan pengukuran H. Idak (1986), perbedaan tinggi antara permukaan bagian tengah dengan permukaan bagian tepinya sebesar 2,5 m (Sabiham, 2006). Umumnya topografi lahan gambut memang membentuk kubah (dome). Peningkatan ketebalan menuju kubah kurang 1 meter setiap jarak 1 meter. Contohnya, penampang melintang antara sungai Sebangau dan Sungai Bulan di Kalimantan Tengah sepanjang 24,5 km serta puncak kubah berjarak 16,5 m. Peningkatan ketebalan mencapai 4 m pada jarak 1 – 3 km dari pinggir Sungai Sebangau dengan ketinggian mencapai 4 m di atas permukaan sungai. Wilayah transisi dari hutan rawa campuran ke hutan tiang, pada jarak 3 – 6 km mempunyai ketebalan yang meningkat seiring peningkatan ketinggian permukaan dari sungai antara 6,25 m – 9,00 m. Pada jarak 6 km – 11 km yang merupakan wilayah hutan maka ketebalan gambut meningkat mencapai 10 m (Noor, 2001).
Perkembangan gambut Kalimantan Tengah dipengaruhi salah satunya oleh bentuk topografi. Ada tiga bentuk landform tempat terbentuknya yaitu pertama adalah residu dari bukit berupa tanah tua (podzol) dan saprolite akibat terjadinya erosi. Tersebar pada dataran diatas 100 – 150 m, contohnya di desa Tangkiling. Kedua yaitu dataran kerangas berupa deposit dari pasir putih yang berada diantara dua bukit (hill). Pembentukanya terjadi pada jaman Pleistosen. Ketiga, dataran banjir akibat pengaruh luapan sungai yang dipengaruhi oleh transgresi air laut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar